Assalamu'alaikum......Welcome to my blog..............

THIS IS ME...........
HALIMATUS SA'DIYAH

Senin, 04 April 2011

TRADISI PSIKOLOGI KOGNITIF YANG MEMPENGARUHI PEMBELAJARAN IPA


Menurut Driver (1982), ada tiga tradisi utama dari psikologi kognitif  yang mempengaruhi pendidikan IPA, yaitu behaviourist, developmental, dan constructivist. Osborne dan Wittrock (1985) menambahkan satu tradisi lainnya, yaitu information proccessing.
Tradisi behaviourist menjelaskan bahwa belajar adalah perubahan perilaku yang dapat diamati dan diukur secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respons) berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang eksternal maupun internal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau dampak berupa reaksi fisik terhadap stimulans.
Tradisi developmental menekankan bahwa penyajian pengetahuan kepada siwa disesuaikan dengan tingkat perkembangan intelektual mereka, yaitu melalui tahapan periode sensori-motor, pra-opersional, konkrit operesional, dan operasi formal (Piaget, 1964).
Tradisi contructivist mengangap belajar sebagai suatu proses aktif (Millar dan Driver, 1987) dalam mengkonstruksi makna melalui interaksi dengan lingkungan sekitar (Driver dan Bell, 1986; Clough dan Driver, 1986) dengan cara menghubungkan pengetahuan yang sedang dipelajari dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya (Driver dan Bell, 1986).
Tradisi information proccessing yang diusulkan oleh  Klahr dan Wallace (1979) merupakan perkembangan lebih lanjut dari tradisi perkembangan kognitif. Horton dan Turnage (1976) menyatakan bahwa pendekatan information processing dalam pembelajaran didasarkan pada analogi antara otak manusia dan komputer. Otak dan komputer sama-sama menerima masukan dari luar (input), beroperasi dengan bebagai cara (proses), dan mengahsilkan luaran (output). 
Berkaitan dengan pembelajaran IPA saat ini, maka dari keempat tradisi psikologi pembelajaran yang mempengaruhi pembelajaran IPA tersebut akan kami bahas lebih lanjut tentang tradisi behaviourist dan constructivist.
  1. Tradisi Behaviourist
Satu hal yang penting dalam tradisi behaviourist adalah lingkungan belajar. Tradisi behaviourist menganggap lingkungan belajar merupakan bagian penting dari pembelajaran (Grippin dan Peters, 1984. Memanipulasi lingkungan dapat mengubah tingkah laku siswa. Salah satu cara yang paling disenangi dalam memanipulasi lingkungan adalah dengan memberi pujian dan hukuman (Hilgard dan Bower 1975, Hergenhahan 9184, Fontana 1984, Grippins dan Peters 1984). Jadi, ada dua hal yang peting dalam tradisi pembelajaran behaviourist, yaitu materi bahan ajar disusun secara hirarkis dan lingkungan belajar siswa yang dimanipulasi sedemikian rupa sehingga mendorong siswa belajar.
Dalam proses belajar mengajar, siswa dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standart-standart tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para siswa. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar siswa diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat unobservable (kurang dijangkau) dalam proses evaluasi.
Aplikasi Tradisi Behaviourist dalam Pembejaran IPA SD
Aplikasi dari tradisi behaviourist dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi siswa untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya siswa kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka. Karena tradisi behaviourist memandang bahwa sebagai pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka siswa atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat.
Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampilan yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran menekankan pada hasil belajar, sedangkan evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Tradisi ini menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara individual (Degeng, 2006).
Contoh aplikasi Tradisi Behaviourist dalam Pembejaran IPA SD :
Mata Pelajaran            : IPA (Ilmu Pengetahuan Alam)
Kelas/Semester           : III / 1   
Standar Kompetensi   : 1.  Memahami ciri-ciri dan kebutuhan makhluk hidup serta hal-hal yang mempengaruhi perubahan pada makhluk hidup.
Kompetensi Dasar      : 1.1 Mengidentifikasi ciri-ciri dan kebutuhan makhluk hidup
Misalnya dalam pembelajaran IPA SD, guru mengambil materi tentang ciri-ciri makhluk hidup. Pada pembelajaran ini, guru hanya menyajikan materi dengan metode ceramah saja. Selain itu, semua perangkat dan kegiatan pembelajaran pembelajaran dikondisikan oleh guru. Jadi, dapat dikatakan proses belajar mengajar bersifat one way, pembelajaran cenderung berpusat pada guru, dan siswa mengikuti alur pembelajaran yang dibuat guru tersebut.
Selama pembelajaran berlangsung, guru hanya memberikan informasi dari materi yang diajarkan. Guru hanya mendiskripsikan saja ciri-ciri makhluk hidup, tanpa mengajak siswa untuk berdiskusi terlebih dahulu. Sedangkan siswa hanya menjadi pendengar, tanpa ada kegiatan tanya jawab antara guru dengan siswa.
  1. Tradisi Contructivist
Dalam tradisi contructivist, belajar dianggap sebagai suatu proses aktif (Millar dan Driver, 1987) dalam mengkonstruksi makna melalui interaksi dengan lingkungan sekitar (Driver dan Bell, 1986; Clough dan Driver, 1986) dengan cara menghubungkan pengetahuan yang sedang dipelajari dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya (Driver dan Bell, 1986). Hubungan antara pengetahuan yang telah dimiliki dan pengetahuan yang sedang dipelajari dibuat untuk membangun makna yang baru. Makna yang baru ini, selanjutnya dibandingkan dengan pengetahuan yang telah ada atau dimasukkan ke dalam pengetahuan yang telah ada tersebut.
Selanjutnya, Driver dan Bell (1986) menyatakan bahwa hasil belajar tergantung pada lingkungan belajar dan pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Pengalaman siswa dan bahasa yang digunakan menentukan pola dari makna yang dikonstruksi siswa. Karena itu, siswa bertanggung jawab dalam proses belajar.
Dalam pelaksanaan tradisi belajar konstruktivisme ada beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran yaitu sebagai berikut :
1)   Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pendapatnya dengan bahasa sendiri.
Contoh :
SK      : Memahami hubungan antara struktur organ tubuh manusia dengan fungsinya, serta pemeliharaannya.
KD     : Menjelaskan cara memelihara kesehatan panca indra.
Dalam kegiatan pembelajaran, guru meminta siswa untuk  menceritakan kembali bagaimana cara memelihara kesehatan pada panca indra. Setiap siswa mempunyai pendapat masing – masing yang diungkapkan dengan bahasanya sendiri.
2)   Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga lebih kreatif dan imajinatif.
Contoh :
SK              :Mengenal bagian – bagian utama tubuh hewan dan tumbuhan, pertumbuhan   hewan dan tumbuhan serta berbagai tempat hidup makhluk hidup.
KD :Mengidentifikasi makhluk hidup yang menguntungkan dan membahayakan.
       Ketika guru meminta siswa untuk mengidentifikasi makhluk hidup yang menguntungkan dan membahayakan, siswa harus diberi kesempatan untuk berfikir tentang pengalaman terhadap makhluk hidup menurut perspektif masing – masing siswa sehingga lebih kreatif dan imajinatif.
3)   Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru.
SK  : Menerapkan konsep energi gerak.
KD : Membuat kincir angin untuk menunjukkan bentuk energi angin dapat diubah menjadi energi gerak.
       Kegiatan pembelajarannya, siswa diminta untuk membuat kincir angin agar mereka lebih memahami konsep tentang energi gerak.
4)   Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa.
SK    : Menerapkan konsep energi gerak.
KD   : Membuat kincir angin untuk menunjukkan bentuk energi angin dapat diubah menjadi energi gerak.
Siswa diminta untuk membuat kincir angin. Diharapkan dengan membuat kincir angin, siswa lebih memahami konsep energi gerak.
5)   Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka.
Ketika siswa mampu mengubah energi angin menjadi energi gerak, maka guru harus menyajikan suatu problem bagaimana energi gerak diperoleh selain melalui energi angin. Hal ini dilakukan agar siswa terdorong untuk membuat perubahan pada gagasan yang dimiliki.
6) Menciptakan lingkungan yang kondusif.
            Menciptakan lingkungan belajar agar siswa merasa aman dan nyaman diperlukan seorang guru agar siswanya merasa senang dalam menerima pelajaran.










DAFTAR PUSTAKA

Dalyono, M., 1996, Psikologi Pendidikan, Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Mudyahardjo, Redja, 1998, Pengantar Pendidikan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Sidik, Muhamad Hasan. 2008. Proposal Skripsi : Penerapan Model Pembelajaran Konstruktivisme untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa Mengenai Energi Gerak di Kelas III SD Negeri I Cilengkranggirang Kecamatan Pasaleman Kabupaten Cirebon. Program S1 PGSD, Universitas Pendidikan Indonesia, Kampus Sumedang.
Sutrisno, Leo, dan Hery Kresnadi, Kartono. 2008. Pengembangan Pembelajaran IPA SD 2 SKS. DirjenDikti Depdiknas.  
http://anwarholil.blogspot.com/2009/01/tradisi-yang-melandasi-pembelajaran-sains.html